Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



INGIN MENIKAH DENGAN SESAMA SALAFI?

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :


Redaksai Yth
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu,..
Saya sorang akhwat, saya seorang salafi walau masih banyak kelemahan. Saya sudah cukup untuk menikah, dan ada yang meminang, namun dia bukan salafi. Bahkan di antara kami ada perbedaan prinsip. Sebenarnya saya ingin sekali menikah dengan sesama salafi, apalagi saya banyak memiliki kelemahan dan kekurangan sebagai salafi, dan di daerah kami, salafi sangat sedikit. Itupun kerabat. Apa saya terima pinangan ikhwan tersebut? Atau sebaiknya saya harus bagaimana? Mohon bantuannya, dan jazakumullah khairan.
Akhwat , 081321xxxxxx

Jawab :
Permasalahan Saudari kami khawatirkan didasari ketidak tahuan tentang definisi salafi, dan siapa salafi itu. Sehingga, terkadang menganggap seseorang tidak salafi, hanya karena tidak mengikuti majlis pada pengajian yang Saudari ikuti.

Perlu kami berikan penjelasan berkenaan dengan masalah ini. Saudari harus melihat kembali ikhwan yang meminang tersebut, apakah ia memiliki komitmen yang kuat terhadap Al Qur`an dan Sunnah? Apakah dia menerima hukum syariat walaupun bertentangan dengan pendapat dan keinginannya? Ini sangat perlu dilihat. Karena, terkadang seseorang menyimpang dari ajaran Islam disebabkan ketidak tahuannya, padahal ia seorang yang menerima dan mau merubah sikap dan pendiriannya, bila ternyata bertentangan dengan Al Qur`an dan Sunnah.

Memang tidak dipungkiri pernikahan dua orang yang berbeda prinsip merupakan satu permasalahan sendiri. Namun, dengan adanya saling pengertian dan selalu berusaha merujuk kepada ajaran Islam, insya Allah dapat diselesaikan. Masalahnya, seandainya perbedaan ini berhubungan dengan bid’ah, maka harus dijelaskan dahulu perbedaan prinsip tersebut. Apabila bid’ahnya telah dihukumi sebagai bid’ah mukaffirah (bid’ah yang mengeluarkan pelakunya dari Islam) seperti Rafidhah Syi’ah atau aliran kebatinan dan sebagainya, maka para ulama melarang pernikahan muslimah dengan mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Dilarang menikahkan seseorang yang berada di bawah perwaliannya kepada seorang Rafidhah Syi’ah, dan tidak juga kepada orang yang tidak shalat. Apabila ketika menikahkannya laki-laki tersebut Ahlu Sunnah dan shalat lima waktu, kemudian jelas ia adalah seorang Syi’ah Rafidhah dan tidak shalat, atau ia kembali menajdi Syi’ah dan meninggalkan shalat, maka pernikahannya dibatalkan.[1]

Apabila kebid’ahan laki-laki tersebut tidak sampai mukaffirah, maka pernikahannya sah bila telah terjadi, namun akad tersebut tidak sah, kecuali dengan persetujuan dan keridhaan wanita dan walinya. Hal ini, tidak berarti Ahlu Sunnah mendukung pernikahan dengan ahli bid’ah. Pernikahan mereka tersebut sah, karena telah sempurna syarat-syaratnya, yang merupakan satu masalah tersendiri, dan keridhaan terhadap pernikahan tersebut juga masalah lain yang terpisah.

Pernikahan ini, walaupun sah, namun dimakruhkan para ulama ahlu sunnah, karena adanya kemudharatan yang timbul dari pernikahan tersebut untuk sang wanita dan anak-anaknya dikemudian hari. Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh menyatakan :

مَنْ زَوَّجَ كَرِيْمَتَهُ مِن مُبْتَدِعٍ فَقَدْ قَطَعَ رَحِمَهُ

"Barangsiapa yang menikahkan anak perempuannya kepada seorang ahli bid’ah, maka sungguh ia telah memutus kekerabatannya".[2]

Demikianlah para wali yang menikahkan anak perempuannya kepada ahli bid’ah telah mendatangkan kemudharatan bagi keluarganya, karena perkawinan dan pergaulan dengan ahli bid’ah tersebut memiliki pengaruh berbahaya bagi rumah tangga tersebut. Yang berarti, dia juga telah berbuat buruk kepada anak perempuannya tersebut dan tidak memilih yang terbaik untuknya. Dikhawatirkan anak perempuannya tersebut terpengaruh dan terbawa aqidah suaminya yang menyimpang. Kita ketahui, wanita memiliki tabiat lemah dan kurang mendalam memandang permasalahan.

Oleh karena itu, para ulama ahlu sunnah (salafiyun) sangat memakruhkan pernikahan dengan wanita dan laki-laki ahli bid’ah, karena mudharat yang mungkin timbul dari pernikahan tersebut. Imam Malik bin Anas, imam madzhab Malikiyah menyatakan :

لاَ يُنْكَحُ أَهلُ البِدْعَةِ وَلاَ يُنْكَح إِلَيْهِمْ وَ لاَ يَسَلِّم عَلَيْهِمْ وَلاَ يَصَلِّى خَلْفَهُمْ وَلاَ تُشْهَد جَنَائِزُهُمْ

"Janganlah ahli bid’ah dinikahi dan janganlah menikahkan kepada mereka, jangan memberi salam dan shalat di belakangnya, serta jangan menyaksikan jenazahnya".

Demikian juga Imam Ahmad menyatakan:

مَنْ لَمْ يَرْبَعْ بِعَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ فِيْ الْخِلاَفَةِ فَلاَ تُكَلِّمُوْهُ وَ لاَ تُنَاكِحُوْهُ

"Barangsiapa yang tidak menjadikan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, maka jangan ajak bicara dan jangan mengadakan pernikahan dengannya". [3]

Berdasarkan penjelasan ini, maka Saudari bisa melihat kembali orang yang telah meminang Saudari tersebut. Kalau memang tampak pada diri laki-laki tersebut baik ketakwaannya, semangat menerima kebenaran dan mengamalkannya, juga memiliki akhlak mulia, maka ajaklah untuk meniti manhaj Salaf. Sebaliknya, jika laki-laki tersebut memang tidak baik agama, kurang bertakwa serta tidak nampak pada dirinya adanya keinginan menerima kebenaran dan mengamalkannya, maka dengan berbekal takwa dan tawakal kepadaNya, Saudari bisa mencari orang lain yang lebih baik, walaupun harus menunggu beberapa lama. Sebab memilih suami yang shalih dan beraqidah benar, akan memberikan kebaikan kepada Saudari dan kaluarga pada masa depan.

Mudah-mudahan Allah memberikan suami terbaik buat Saudari. Bersabarlah dan istiqamah dalam jalan kebenaran. Wallahu a’lam. (Khs).


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
________
Footnote
[1]. Majmu’ Fatawa (32/61).
[2]. Diriwayatkan Al Barbahari dalam Syarhu Sunnah, hlm. 60.
[3]. Jawaban ini disarikan dari kitab Mauqif Ahli Sunnah Min Ahli Al Hawa Wal Bid’ah, Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili (1/380-388) dengan penyesuaian dan tambahan.

Sumber : http://almanhaj.or.id/content/1547/slash/0


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.